Jumat, 29 Mei 2015

KH. R. Asnawi Kudus

KH-R-asnawi
Kiai Haji Raden Asnawi itulah nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Adapun nama sebelumnya ialah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekah.
KH.R. Asnawi adalah putra yang pertama dari H. Abdullah Husnin seorang pedagang konveksi yang tergolong besar di Kudus pada waktu itu, sedang ibunya bernama R. Sarbinah. KH. R. Asnawi lahir di kampung Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (+1861 M), beliau termasuk keturunan ke-14 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali yang kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.

Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam mengaji Al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun beliau diajak oleh orang tuanya ke Tulungagung Jawa Timur untuk mengaji sambil belajar berdagang. Sesudah mendapat asuhan dan didikan dari orang tuanya, beliau kemudian mengaji di pondok pesantren Tulungagung, lalu berguru dengan Kyai H. Irsyad Naib Mayong Jepara sebelum pergi haji. Selama di Mekah beliau berguru antara lain dengan Kyai H. Saleh Darat Semarang, Kyai H. Mahfudz Termas dan Sayid Umar Shatha.

Menunaikan Ibadah Haji
Sewaktu umur 25 tahun beliau menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, beliau mulai mangajar dan melakukan tabligh agama. Diantaranya pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau berkeliling di masjid-masjid sekitar kota bila melakukan shalat subuh.

Kira-kira umur 30 tahun beliau diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu beliau juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu beliau telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Mukim Di Tanah Suci

Semula beliau tingal di rumah Syekh Hamid Manan Kudus, kemudian setelah kawin dengan ibu Nyai Hajjah Hamdanah (janda Almaghfurlah Kyai Nawawi Banten), beliau pindah tempatdi kampung Syamiah Mekah dengan dikaruniai 9 orang anak, tetapi yang hidup sampai tua hanya 3 orang yaitu: H. Zuhri, H. Azizah istri KH. Shaleh Tayu dan Alawiyah istri R.Maskub Kudus.
Selama bermukim di tanah suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beliau masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Beliau juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, diantara yangikut belajar antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang, KH. Bisyri Samsuri Jombang, KH. Dahlan Pekalongan, KH. Shaleh Tayu, KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KH. A. Mukhit Sidoarjo. Disamping belajar dan mengajar agama Islam, beliau turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawannya yang lain.

Pada waktu beliau bermukim ini, pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu beliau bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan beliau dan Syekh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi ifta’-nya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KH. R. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas beliau, meskipun sudah diberitahu).

Melihat tulisan dan jawaban beliau terhadap tulisan Syekh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan beliau. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syekh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KH. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada beliau dan diatur agar beliau nanti yang melayani mengeluarkan jamuan. Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek kerumah Syekh Hamid Manan dan beliau sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk beliau yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat beliau, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala beliau sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapuh".
Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un, H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Kalau malam para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya.

Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, dimana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.

Huru-Hara Kudus
Di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, oleh orang-orang Cina diadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu ada adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge.

Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Manara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan gerobak dorong (Jawa=songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.

Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai, bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina. Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Tetapi ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.

Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para Ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH. R. Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah di penjara Semarang bersama-sama dengan KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain.

Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus padasetiap malam Jum’ah, beliau mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jama'ah lima waktu. Di sampingitu, beliau sempat menterjemahkan kitab Al Jurumiyah (ilmu Nahwu) ke dalam bahasa Jawa, sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.

Sesudah Keluar Dari Penjara
Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, diantaranya dengan berda’wah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Diantara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah Tauhid dan Fiqih. Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wa al Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus.

Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan, ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Juga setiap tanggal 29 Rabiul Awal beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw. Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri).

Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain: Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam.

Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya, sebab kalau diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat, lain kalau saya menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Perjuangannya
Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH. A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.

Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.

Pulang Ke Rahmatullah
Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. KH. R. Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Rabu, 27 Mei 2015

Peningkatan Berbahasa
Tartilan al Qur'an

Grup Rebana

Sima'an al Qur'an
KBM al Qur'an

NU: Modernisasi Tumbuh dari Tradisionalisme

NU: Modernisasi Tumbuh dari Tradisionalisme 
Oleh KH Abdurrahman Wahid

NU sering dianggap sebagai organisasi kolot, yang timbul dari pengamatan lahiriah atas gerakan itu. Dalam ungkapan Hadi Sabeno, NU dapat disebut sebagai “kaum sarungan” karena memang itulah ciri para pemimpin NU di masa lampau. Kini, mereka yang meninggalkan sarung dan mengenakan celana panjang sudah begitu banyak-termasuk penulis sendiri, hingga sebutan itu sudah tidak dapat dipakai lagi. Kekolotan NU sekarang lebih tercermin dalam cara kerjanya, dari pada penampilan lahiriahnya.

Dalam sebuah kesempatan, ada pembicaraan dengan seorang atase pertahanan di Kedubes Australia pada pertengahan tahun 80-an. Dalam percakapan itu, sang atase menyebutkan NU sebagai organisasi psychic, karena dalam statua tahun 1926 ia dicantumkan untuk berdiri 29 tahun. Kalau 25, 50, atau 75 tahun, itu masih “normal”. Nah, sang atase menjumlahkan angka 26 dan 29 itu, sampai pada angka 1955, tahun pertama kali ada pemilu di Indonesia: dan tahun itu, bila ditambah angka 29 akan menjadi 1984, tahun NU menggantikan asas Islam dengan asas Pancasila.

Kalau “jalan pikiran” ini diteruskan kita akan melihat sesuatu yang aneh bagi NU dalam tahun 2013 nanti. Bukankah tahun itu adalah buah penambahan angka 29 atas tahun 1984? Tuhan jualah yang akan menentukan, bukannya manusia dengan gugun-tuhon yang dipercayainya. Untuk masyarakat Jawa yang senang dengan klenik, penambahan-penambahan seperti itu tentu sangat menarik.

Dalam tahun 1935, muktamar NU di Banjarmasin dihadapkan pada sebuah pertanyaan: wajibkah secara hukum Islam (fiqh) bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kerajaan Hindia-Belanda, yang waktu itu diperintah oleh para penguasa non-muslimin? Jawab Muktamar NU itu, wajib hukum agamanya mempertahankan kawasan tersebut, karena kaum muslimin bebas menjalankan ajaran agama mereka, dan di masa lampau ada kerajaan-kerajaan Islam di wilayah itu. Ini adalah dasar dari perkembangan non-ideologis agama itu di kawasan ini.

Pada tanggal 28 Oktober 1945, Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya, mengeluarkan sebuah resolusi yang dikenal sebutan resolusi Jihad. Dalam resolusi itu, disebutkan bahwa mempertahankan Republik Indonesia (RI) adalah kewajiban kaum muslimin berjihad di negeri ini. Padahal, waktu itu, RI bukanlah negara Islam melainkan negara Pancasila. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa mendirikan negara Islam bukanlah sebuah kewajiban agama. Ini sesuai sepenuhnya dengan kenyataan bahwa Islam tidak pernah memiliki konsep resmi tentang bentuk negara, melainkan yang ada hanyalah kewajiban mendirikan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat atau orang banyak.

Pada tahun 1984, NU mengokohkan penggunaan Islam tidak sebagai ideologi negara melalui keputusan Muktamar di Situbondo, bahwa asas NU adalah Pancasila. Ini berarti perubahan pengertian asas yang semula berarti landasan kemasyarakatan menjadi landasan kenegaraan. Dengan keputusan itu, NU menegaskan sekali lagi, bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi negara, melainkan sebuah keyakinan masyarakat yang harus mereka jalankan dalam kehidupan sehari-hari. Muktamar mengakui perubahan arti ini karena paham Ahlussunnah wal Jama’ah selamanya mengutamakan kepentingan negara, yang saat itu memahami asas sebagai sebuah keyakinan negara.

Jelas dari uraian di atas, bahwa NU memisahkan antara ideologi dan keyakinan masyarakat. Di samping itu, NU juga memberikan tempat bagi pandangan yang berbentuk macam-macam. Kedua hal itu merupakan inti dari sebuah negara modern, dan cukup mengherankan bahwa NU yang kolot itu dapat memahami hakikat persoalan ini. Hakikat pemisahan agama dari negara memang menjadi pandangan NU semanjak pertama kali didirikan pada tahun 1926.

Dengan ungkapan di atas, menjadi nyata bagi kita, bahwa NU menerima perubahan-perubahan atau modernisasi, apabila tumbuh dari argumentasi keagamaan yang kolot dan konservatif. hal inilah yang menjadi motto NU: memelihara apa yang datang dari masa lampau asalkan baik, dan mengambil yang lebih baik dari apa yang terjadi (al-mukhafadzatu ‘ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa modernisasi dalam pandangan NU haruslah bertolak dari tradisionalisme, yang demikianlah pandangan resmi NU. Kalau kita tidak memahami hal ini, berarti kita memperkosa sejarah NU, dan menolak proses modernisasi yang berjalan seiring dengan tradisionalisme. Jadi bukan seperti pendapat Daniel Lerner yang menggunakan kalimat “memudarnya masyarakat tradisional” (passing away of traditional society) sebagai judul buku laporan penelitiannya. Biarlah negeri-negeri lain melenyapkan tradisionalisme dan menggantikannya dengan yang baru, dan melakukan modernisasi yang sejalan dengan tradisonalisme itu. Bukankah dengan demikian kita akan melakukan perubahan, tapi meletakannya pada sebuah proses yang damai dan bertahap?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, 2002 (Yogyakarta: LKiS).

Sumber : http://www.nu.or.id

Selasa, 26 Mei 2015

Mbah Subkhi, Kiai Bambu Runcing

Mbah Subkhi, Kiai Bambu Runcing
 
KH Syaifuddin Zuhri mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung penganten sundoro Sumbing..... Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.

“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo,  “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.

KH Saefudin Zuhri, mantan Menteri agama itu mengantar sendiri KH.A.Wahid Hasyim,KH.Zainul Arifin dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Mengapa ke Parakan?

Parakan terkenal dengan kota bambu runcingnya yang ampuh. Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah.

Bambu Runcing pada masa Jepang juga sudah di gunakan.  Menurut sumber sejarah pada masa Jepang mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para anak-anak, remaja dan pemuda dalam Senendan, senjata yang di pakai untuk latihan antara lain senjata bambu runcing.

Namun sebelum bambu runcing digunakan, para santri dan pejuang terlebih dahulu meminta berkah doa dari kiai di Parakan, terutama kiai Subkhi.  Tidak banyak cerita mengenai doa apa yang di bacakan oleh Kiai Subkhi. Namun bambu runcing Parakan menjadi senjata utama sebelum para pejuang berhasil merampas senjata milik tentara penjajah.

Dan ketika sudah ribuan pejuang yang datang ke Parakan menemui Kiai Subkhi utuk mencium jemari tangannya dan meminta do’a, Kiai Subkhi malah bertanya “mengapa tidak datang kepada Kiai Dalhar,Kiai Hasbullah dan Kiai Siraj?

Mbah Subkhi, putra salah anggota pasukan Diponegoro yang kemudian berjuang dan menetap di daerah Parakanadalah kiai yang sangat sederhana dan rendah hati.  KH.Saifudin Zuhri dalam bukunya berangkat dari Pesantren bercerita, “KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu.

“Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.” (Ahmad Muzan-Wonosobo)
Sumber: http://www.nu.or.id/

Senin, 25 Mei 2015

PROFIL PONPES TAHFIDZ AL QUR'AN NURUL FIRDAUS MANGGARMAS


MUQADDIMAH
Pondok Pesantren Tahfidz al Qur’an Nurul Firdaus merupakan pondok pesantren yang dikhususkan bagi santri (putra/putri) usia remaja (lulusan SD/MI) yang ingin menghafal al Qur’an 30 Juz. Ponpes tahfidz yang berlokasi di desa Manggarmas Godong Grobogan ini juga membekali santri dengan penguasaan bahasa Arab sebagai salah satu kunci dalam memahami al Qur’an, dengan harapan santri mampu memahami dan mendalami isi kandungan al Qur’an sehingga terwujud perilaku santri yang Qur’ani dan berprestasi.
Selain fokus pada menghafal al Qur’an, para santri juga melaksanakan sekolah formal (pagi hari) di MTs atau MA Nurul Firdaus yang lokasinya berada satu komplek dengan pondok pesantren.

VISI
“MEWUJUDKAN GENERASI YANG BERAKHLAK QUR’ANI
DAN BERPRESTASI”
MISI
Ø  Mendidik santri untuk berperilaku Qur’ani dan hafal al Qur’an 30 Juz.
Ø  Mendidik santri untuk selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, berjiwa mandiri, berdaya saing dan berpengetahuan luas dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Ø  Mendidik santri untuk terampil berbahasa Arab dan Inggris sebagai sarana untuk mengembangkan diri, serta memahami dan mengamalkan isi kandungan al Qur’an dan al Hadis

KEGIATAN PENUNJANG DAN EKSTRAKULIKULER
Dalam mengembangkan wawasan keislaman, potensi, bakat dan minat, para santri juga melaksanakan kegiatan penunjang dan ekstrakulikuler yang terjadwal dan berjenjang. Kegiatan penunjang tersebut antara lain;
Ø  Belajar malam terbimbing.
Ø  Penguasaan bahasa Arab dan Inggris.
Ø  Pengajian tafsir al Quran dan al Hadis.
Ø  Pembelajaran Ilmu Tajwid dan tahsin  tilawah al Qur’an.
Ø  Pengajian kitab fiqih dan Adab.
Ø  Peringatan Hari Besar Islam (PHBI).
Beberapa Kegiatan Ekstrakulikuler antara lain;
Ø  Rebana
Ø  Ketrampilan Menjahit, kreasi hijab dan aksesoris
Ø  Ketrampilan komputer multimedia
Ø  Peningkatan berbahasa Arab dan Inggris (muhadharah, muhadasah dan pengayaan kosakata)

PERSYARATAN PENDAFTARAN
1.    Mendaftarkan diri diantar dengan wali.
2.    Mengisi formulir pendaftaran.
3.    Menyerahkan foto copy Kartu Keluarga (KK) atau Akta kelahiran 2 lembar.
4.    Menyerahkan pass photo berpeci/berjilbab; 3X4, 4 lembar.
5.    Menyerahkan foto copy ijazah, raport jenjang SD/MI- SMP/MTs; 2 lembar
6.    Menyerahkan foto copy NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) 2 lembar. 
Semua persyaratan diatas dimasukkan dalam map warna biru.

PROFIL MADRASAH NURUL FIRDAUS



MADRASAH TSANAWIYAH DAN MADRASAH ALIYAH
“NURUL FIRDAUS”
PROFIL MADRASAH
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Nurul Firdaus merupakan lembaga pendidikan formal di bawah naungan yayasan Nurul Firdaus yang berlokasi di desa Manggarmas Godong Grobogan.

Dengan visi mewujudkan generasi yang tangguh dalam IMTAQ, berakhlaq Qur’ani, mandiri dan berprestasi maka pembelajaran di MTs dan MA Nurul Firdaus memadukan kurikulum nasional dan kurikulum khas pesantren.

Kekhasan tersebut tidak hanya tampak dalam muatan kurikulum madrasah tetapi juga pada aktifitas/kegiatan peserta didik yang berorientasi pada perbaikan moral/akhlaq yang diringi dengan pengembangan intelektual, emosional dan spiritual yang seimbang seperti; (1) Disiplin beribadah dan pembiasaan berakhlakul Karimah yang diwujudkan dalam shalat Fardhu berjamaah, Shalat Dhuha, Istighasah, pembacaan Maulud, dsb. (2) Interaksi dengan al Qur’an secara intensif (pagi hari) meliputi program tahsin tilawah, tahfidz dan tafhim al Qur’an. (3) Penguasaan sains dan teknologi (IPTEK) yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang di dukung dengan penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris.

KEGIATAN PENGEMBANGAN DIRI
Para santri juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat melalui berbagai kegiatan pengembangan diri, baik kegiatan rutin, terjadwal atau spontan seperti; Shalat Dhuha, Khatmil Qur’an, Muhadharah (Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris), Pelatihan dasar junalistik (LDJ), pelatihan dasar kepemimpinan (LDK), training motivasi dan kewirausahaan, bakti sosial (Baksos), organisasi santri (OPNF), serta ekstrakulikuler lainya antara lain;
Ø  Halaqah Tahfidz al Qur’an
Ø  Nufi language Club (Bhs Arab dan Inggris)
Ø  Nufi Sport Club (Futsal, Tenis Meja, Volley)
Ø  Nufi Sanggar Seni (Teater, Rebana, Kaligrafi)
Ø  Nufi Pers (Bulletin dan Majalah)
Ø  Ketrampilan Komputer dan Multimedia
Ø  Ketrampilan Menjahit berijazah (Keg ekstra wajib bagi santri baru)
Ø  PMR dan Pramuka

FASILITAS PENUNJANG
Untuk menunjang pembelajaran agar efektif dan optimal, para santri memperoleh beberapa kemudahan seperti; bebas biaya pendaftaran dan uang gedung, beasiswa prestasi akademik dan non akademik, dan juga berbagai fasilitas/sarana antara lain; ruang belajar yang representatif, laboratorium IPA, laboratorium Agama, perpustakaan dilengkapi hotspot area, sport center, asrama santri dan masjid megah sebagai pusat pendidikan dan peradaban.

INFORMASI DAN PENDAFTARAN:
Di Kantor Yayasan Nurul Firdaus,
Jl Cendana Rt 02/Rw 04 Manggarmas, Godong Grobogan 58162.
Telp/HP: 085 866 574 500

BROSUR MADRASAH NURUL FIRDAUS MANGGARMAS

INFO PENERIMAAN SANTRI BARU TA 2015-2016
MADRASAH TSANAWIYAH - MADRASAH ALIYAH
"NURUL FIRDAUS" MANGGARMAS
CP: 085 866 574 500 atau klik di NUrul-FIrdaus-NUFI-Official

Jumat, 22 Mei 2015

BROSUR PENERIMAAN SANTRI BARU TA 2015-2016

Berikut adalah Brosur dan Info Pendaftaran Santri baru TA 2015-2016, Ponpes Tahfidz al Qur'an Nurul Firdaus Manggarmas. 
CP: 085 866 574 500